Bagian 1
Bismillahirrahmanirrahim, semoga kisah
yang akan coba saya angkat beberapa hari kedepan ini, bisa menjadi bahan
pembelajaran bersama. Khususnya untuk kita, umat yang hidup mendekati fase
akhir zaman.
Berikut Nukilan mengenai asal usul
Dajjal dan kisah Terbelunggunya Dajjal, sebelum ia keluar kebumi untuk
menebarkan Fitnah. Dajjal adalah sosok yang sangat jenius, ia mengetahui
berbagai ilmu pengetahuan dan menguasai berbagai macam rahasia alam semesta.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia juga sangat menguasai ilmu-ilmu
keislaman, sehingga pada awal kemunculannya nanti, ia tampil sebagai seorang
muballigh yang saleh. Ia bisa menampilkan berbagai macam keajaiban karena
pengetahuannya akan rahasia alam semesta, dan tentunya karena diijinkan oleh
Allah, sehingga pengikutnya makin banyak. Lama-kelamaan ia mengaku dirinya
sebagai nabi, dan ketika makin banyak orang yang memujanya, ia mengaku dirinya
sebagai Tuhan.
Tidak ada riwayat pasti yang menjelaskan
kapan Dajjal ini dilahirkan. Seorang ulama, pemikir dan jurnalis dari Mesir
bernama Syech Muhammad Isa Dawud menyatakan bahwa Dajjal dilahirkan sekitar
satu abad sebelum Nabi Musa AS dilahirkan. Kesimpulan itu diambil berdasarkan
kajian mendalam beberapa ayat-ayat Al Qur’an, berbagai hadist-hadist Nabi SAW,
dan berbagai macam manuskrip (literatur) kuno yang beliau dapatkan dari berbagai
daerah di Timur Tengah.
Orang tua Dajjal itu tinggal di daerah
Samirah, sebuah daerah kecil di Palestina, yang di kemudian hari menjadi kota
besar, ibukota dari kerajaan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Masyarakat Samirah
itu adalah para penyembah berhala dan pelaku berbagai macam kemaksiatan,
termasuk sodomi dan liwath (homoseksual). Orang tua Dajjal memiliki sesembahan
berhala yang mirip dengan sapi betina, dan sejak pernikahannya, mereka selalu
membuat persembahan kepada berhalanya itu, dengan permintaan agar mereka diberi
keturunan seorang anak laki-laki.
Setelah tiga puluh tahun berlalu,
barulah istrinya mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi kedua
matanya cacat, satu saja yang bisa melihat dan tubuhnya tidak banyak bergerak.
Selama bertahun-tahun layaknya ia hanya tidur saja, tetapi anehnya ia tumbuh
sebagaimana bayi pada umumnya. Pada umur empat tahun, di suatu malam ia
bergerak meninggalkan tempat tidurnya di antara ayah ibunya dan berpindah ke
sebelah berhala mirip sapi betina itu, dan tidur di sana. Beberapa kali
dikembalikan, ia berpindah kembali ke sisi berhala itu tanpa diketahui siapapun.
Keadaan yang menghebohkan itu, sempat membuat ayahnya diperiksa dan ditahan
oleh hakim.
Ketika ia berusia lima tahun, Allah
menimpakan azab pada penduduk Samirah, buminya diguncang gempa amat keras
hingga tanahnya terbalik, seperti yang terjadi pada kaum sadumi dan amurah.
Anehnya, anak kecil berusia lima tahun itu selamat, tinggal sendirian di antara
reruntuhan puing-puing yang berserakan. Sepertinya Allah mempunyai
"rencana besar" dengan anak kecil tersebut, memerintahkan Jibril
untuk memindahkan anak tersebut ke suatu pulau terpencil di antara berbagai
pulau di "belantara" Laut Yaman, bagian dari Samudra Hindia.
Walau terpencil, pulau tersebut memiliki
semua kelengkapan untuk kehidupan, air yang segar, buah-buahan dan berbagai
jenis makanan lainnya. Disana juga ada gua yang cukup besar dan nyaman, yang
bisa melindunginya dari panas dan hujan. Allah menugaskan Jibril untuk merawat
dan mengajari anak kecil tersebut, khususnya tentang aqidah dan keimanan,
termasuk tentang akan datangnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi dan
Rasul. Secara khusus Allah menciptakan seekor binatang berbulu sangat tebal,
yang dapat berbicara seperti manusia, yang disebut Al-Jassasah (yang selalu
memata-matai). Al-Jassasah inilah yang sehari-harinya mengajar anak kecil, calon
fitnah akhir zaman, Dajjal. Ajaran-ajaran yang disampaikan Malaikat Jibril itu
tertulis pada tujuh buah panel/dinding batu yang ada di salah satu bagian dari
pulau tersebut.
Bagian 2
Setelah
bertahun-tahun tinggal di pulau itu dan ia makin dewasa, suatu ketika ada
perahu yang merapat di pulau tersebut, dan ia dibawa serta ke luar pulau.
Mereka beranggapan, lelaki itu mungkin korban dari salah satu perahu yang
tenggelam dan terdampar di pulau itu. Mereka menurunkan calon Dajjal ini di
daratan Yaman yang jaraknya sekitar 4000 km dari pulau tersebut. Ia mulai
mengembara, menjelajah berbagai tempat, dan karena Allah membekalinya dengan
otak yang sangat jenius, ia belajar dengan cepat dan kepandaiannya makin
meningkat, dengan mudah pula menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru. Ia
membahasakan (menamakan) dirinya dengan Ibnu Samirah, dinisbahkan pada tempat
asalnya seperti diceritakan al Jassasah.
Ia
bekerja menjadi pelayan seorang filosof Yaman. Suatu ketika sang filosof
tertarik untuk memeriksa daya pikir dan keanehan perilakunya, dan akhirnya sang
filosof menyimpulkan, “Jika engkau bisa hidup lama, engkau bisa menjadi seorang
raja yang sangat adil, atau sebaliknya raja yang sangat lalim!!” Setelah
tinggal beberapa tahun lamanya bersama sang filosof, Ibnu Samirah berkeinginan
untuk mengunjungi negeri asalnya Samirah, yang berada di Palestina. Ia membeli
sebuah perahu besar dan menggaji beberapa nelayan untuk menjalankannya. Segala
kebutuhan dan perlengkapan juga dipersiapkan dalam perahunya itu. Tetapi
sebelum mengarahkan ke Palestina, ia ingin mengunjungi pulau terpencil tempat
masa kecilnya tinggal bersama al Jassasah. Walau tidak mudah bagi orang lain
menemukannya, tetapi kekuatan ingatan dan pikirannya dengan mudah membawanya ke
pulau itu.
Ketika
ia berlabuh dengan perahu kecil di pantainya, al Jassasah menatapnya dengan
tajam, tetapi kemudian meninggalkannya ke dalam hutan tanpa berkata apapun. Ibnu
Samirah berjalan berkeliling mengenang masa kecilnya. Tidak terasa ia telah
berusia seratus tahun lebih, tetapi sama sekali tidak ada gurat ketuaan di
wajahnya. Bahkan tampaknya ia makin merasa kuat dan tegar, layaknya ketika
berusia tigapuluhan. Ketika sampai pada panel batu yang bertuliskan pengajaran
Malaikat Jibril, ia menemukan sebuah bejana berisi semacam tinta yang digunakan
menulis pada batu.
Ia
mengambil bejana tersebut, ia juga mengambil atau memotong dari tiap panel batu
pengajaran itu untuk kenang-kenangan. Kemudian ia kembali lagi ke perahunya dan
mengarahkan ke Palestina.
Setelah
beberapa hari lamanya mengarungi lautan, ia berlabuh di salah satu lembah di
Palestina yang tersembunyi. Ia meneruskan ke Samirah dengan onta yang
dibelinya. Walau ia tidak menemukan apa-apa dari negeri Samirah yang masih
luluh lantak tanpa penghuni, dari beberapa orang berusia lanjut di negeri
sekitar Samirah seperti al-Jalil dan al-Arbad, ia mendengar kisah tentang anak
kecil yang diambil dewa-dewa ke pangkuannya. Ada juga kisah selentingan tentang
anak kecil yang diculik malaikat ketika terjadi bencana besar yang
menghancurkan Samirah. Kisah-kisah tersebut seolah membenarkan jati dirinya
seperti yang diceritakan oleh al Jassasah.
Setelah
tinggal di Palestina beberapa tahun lamanya, ia memutuskan menuju negeri sang
Firaun, Mesir. Ia melamar menjadi pelayan seorang dukun terkenal di negeri itu,
yang dengan senang hati menerimanya setelah mengetahui kemampuan dan
kecerdasannya. Saat itu Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS sedang mendakwahkan
agama Tauhid kepada Firaun dan masyarakat Mesir, khususnya kaum Bani Israil
yang hidup dalam perbudakan di negeri itu. Dukun yang diikutinya itu seorang
yang berusia tigaratus tahun dan sangat mengenal sejarah hidup Nabi Musa AS di
Mesir. Ketika ia mendengar kisah Musa tersebut, ia segera menceritakan kisah
kehidupannya, yang segera saja sang dukun berkata, Kalau begitu engkau adalah
Musa yang lain, yakni Musa dari Samirah (Musa as Samiri). Mungkin karena
inilah, muncul suatu ungkapan dari sebagian ulama dalam hal pendidikan dan
pengajaran, Musa yang dididik oleh Firaun menjadi salah seorang Nabi dan Rasul,
sedang Musa (as Samiri) yang dididik oleh malaikat Jibril malah menjadi orang
yang paling ingkar kepada Allah.
Bagian 3
Ibnu
Samirah sangat kagum dengan komentar sang dukun itu, dan ia merasa derajadnya
tidaklah terlalu jauh daripada Nabi Musa AS. Setelah beberapa waktu lamanya, ia
memutuskan untuk bergabung dengan Bani Israil karena ada kedekatan kedaerahan
dan garis darah leluhurnya yang bertemu dengan Nabi Musa, yakni pada Nabi
Ya’kub. Ia juga menikahi salah seorang wanita Bani Israil tetapi tidak
mempunyai keturunan. Namun demikian, walau ia melihat berbagai macam mu’jizat
yang ditunjukkan Nabi Musa AS, hatinya tidak bisa sepenuhnya mengimani Nabi
Musa AS, termasuk juga mengimani Allah SWT. Sementara itu, beberapa orang dari
Bani Israil menunjukkan penghargaan dan kedekatannya kepada Ibnu Samirah karena
kecerdasan dan kepiawaiannya dalam beberapa hal. Walau tidak banyak, mereka itu
layaknya ‘budaknya’ Ibnu Samirah, yang akan selalu menurut jika
diperintahkannya.
Ketika
Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Bani Israil untuk meninggalkan Mesir
menuju Palestina, Ibnu Samirah ikut serta dalam rombongan besar itu. Beberapa
kali lagi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri mu’jizat Nabi Musa AS,
termasuk membelah lautan dengan tongkat beliau, tetapi semua itu tidak
membuatnya beriman. Bahkan terbersit dalam pikirannya, “Akupun bisa
melakukannya suatu saat nanti, bahkan bisa lebih dahsyat!!” Ketika Bani Israil
telah selamat dari kejaran Fir’aun dan tiba di sisi gunung Thursina, Nabi Musa
meninggalkan mereka dalam pengawasan Nabi Harun untuk segera ‘menghadap’ Allah
di Bukit Thursina. Pada saat itulah Ibnu Samirah membikin ulah dengan membuat
sebuah patung anak sapi dari emas dan dapat bersuara, dan mengatakan bahwa
itulah tuhannya Musa dan Bani Israil. Sebagian besar dari mereka mempercayainya
dan menyembah patung emas tersebut, segala upaya dilakukan oleh Nabi Harun
untuk mencegah mereka tetapi mengalami kegagalan.
Lebih
lengkapnya bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Thaha ayat 83-97, lebih baik lagi
kalau dilengkapi dengan tafsirnya. Hanya saja yang menjadi dasar renungan Syech
Muhammad Isa Dawud sehingga ‘menyimpulkan’ bahwa Samiri atau Ibnu Samirah ini
adalah calon Dajjal, adalah sikap Nabi Musa dalam peristiwa itu.
Begitu
turun dari bukit Thursina sambil membawa shuhuf yang terbuat dari batu, yang
berisi Perintah-perintah Allah (The Ten Command The Men, istilah baratnya),
Nabi Musa AS melihat kaumnya telah menyembah dan menari-nari di depan tuhan
barunya, sebuah patung sapi betina dari emas yang bisa bersuara. Hati Nabi Musa
sangat marah, mukanya merah padam dan tanpa disadari beliau melemparkan shuhuf
yang beliau pegang sambil berteriak keras. Mendengar suara keras beliau
tersebut, kaum Bani Israil langsung menghentikan aktivitas penyembahannya
dengan ketakutan.
Kemudian
Nabi Musa menghampiri Nabi Harun, menarik janggut dan memegang kepalanya dan
berkata dengan marah, seolah-olah Nabi Harun telah mengabaikan perintahnya,
lihat Surat Thaha ayat 92-94. Padahal Nabi Harun telah berusaha keras, tetapi
beliau tidak mampu mempengaruhi Bani Israil yang telah berada di bawah kendali
dan pengaruh Samiri atau Ibnu Samirah itu.
Tetapi
ketika Nabi Musa menghadapkan diri kepada Samiri, otak dari segala macam
kekacauan dan fitnah bagi Bani Israil sepeninggal beliau ke Thursina, Al Qur’an
(Surat Thaha ayat 95-97) tidak menjelaskan ‘sikap keras’ Nabi Musa seperti
sebelumnya, bahkan akhirnya beliau hanya berkata, “Pergilah kamu, maka
sesungguhnya bagimu dalam kehidupan dunia ini hanya bisa berkata : Janganlah
menyentuhku. Dan sesungguhnya bagimu telah ada ketentuan waktu, yang kamu tidak
akan bisa menghindarinya….!!” (QS Thaha 97). Nabi Muhammad SAW telah
menjelaskan, “Sesungguhnya saya memperingatkan kalian akan Dajjal. Dan tidak
ada seorang nabi-pun kecuali mereka mengingatkan kaumnya (tentang dirinya).
Akan tetapi saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang belum pernah
disampaikan nabi-nabi kepada kaumnya. Sesungguhnya ia (Dajjal) itu buta sebelah
dan sesungguhnya Allah tidaklah buta sebelah. Dan tertulis di antara kedua mata
Dajjal ka-fa-ra (artinya kafir)”.
Bagian 4
Mungkin
ketika Nabi Musa menghadap ke Samiri, beliau melihat tanda-tanda Dajjal pada
dirinya. Karena itu, walau beliau termasuk seorang yang sangat keras dalam
menerapkan syariat, tetapi beliau membiarkan Samiri pergi, karena beliau
meyakini Allah telah mempunyai rencana sendiri dengan dirinya.
Setelah
diusir Nabi Musa, Ibnu Samirah kembali melanjutkan pengembaraannya dari satu
negeri ke negeri lainnya. Entah berapa tahun atau berapa abad perjalanannya ia
hampir tidak merasakannya, karena ia tetap dalam kemudaannya. Pengetahuannya
semakin bertambah banyak dan semua itu makin menambah kesombongan dan
ambisinya. Setelah cukup lelah menjelajah, ia memutuskan untuk kembali ke pulau
tempat ia dibesarkan. Ia mengira, Al-Jassasah yang telah menjadi teman masa
kecilnya itu telah mati, ternyata tidak.
Ia menemukannya di dekat panel batu yang berisi pengajaran malaikat Jibril.
Ia menemukannya di dekat panel batu yang berisi pengajaran malaikat Jibril.
Tetapi
ia sama sekali tidak berbicara (menjawab) ketika diajaknya bercakap-cakap. Yang
keluar dari mulutnya hanyalah ucapan yang berulang-ulang, “Laa ilaaha
illallaah, lahul mulku wa lahul hamdu, yukhyii wa yumiit, wahuwa ‘alaa kulli
syai-in qodiir”. Setelah beberapa waktu lamanya hidup di pulau itu tanpa bisa
berkomunikasi, ia kembali mengadakan perjalanan untuk berkelana. Ia mendengar
tentang seorang nabi yang menghebohkan, dengan gelaran Al-masih, yakni Nabi Isa
AS.
Ibnu
Samirah tidak mau langsung bertemu atau menyatu dengan umat Nabi Isa AS seperti
ketika dengan Nabi Musa AS dahulu. Ia mengirim seorang utusan, sementara ia
menunggu di luar, dengan sebuah pesan kepada Nabi Isa AS, “Jika engkau
benar-benar seorang nabi, katakan kepadaku siapa yang di luar?”.
Ketika
utusan itu menghadap Nabi Isa dan menyampaikan pesan tersebut, sejenak Nabi Isa
terdiam, kemudian beliau bersabda, “Wahai saudaraku, katakan kepada orang yang
mengutusmu itu, bahwa Allah yang Maha Perkasa dan Maha Agung menerima taubat
dan mengampuni semua dosa hamba-Nya, jika hamba tersebut mau bertaubat dan
mengesakan Allah maka ia benar-benar akan kembali (suci). Allah-lah yang
melindungi anak kecil yang sedang tidur dari kekejaman penguasa, Dia-lah pula
yang memeliharanya di pulau tempat tinggal binatang raksasa ketika ia masih
kecil. Dia-lah yang mengajarkan kepadanya Keesaan Allah dan shalat melalui
tulisan kepercayaan-Nya Jibril. Dia Maha Kuasa untuk memaafkan fitnah yang
dibuatnya kepada Bani Israil, asalkan dia beriman kepada al Masih ar Rabb
(yakni Nabi Isa AS), dan kepada kitab Injil yang diturunkan kepadanya”.
Setelah
mendengar jawaban tersebut dari orang yang diutusnya, Ibnu Samirah segera
berlalu pergi. Tampaknya pengalaman pahit ketika bertemu dengan Nabi Musa
membuatnya jengah untuk bertemu dan bergaul dengan Nabi Isa, apalagi tidaka ada
niatan sama sekali dalam hatinya untuk bertaubat. Maka ia melanjutkan tradisi
pengembaraannya dari satu negeri ke negeri lainnya. Kalau ada suatu tempat yang
belum pernah dikunjunginya, maka ia akan segera menuju ke tempat itu. Setelah
berabad-abad tanpa ia menyadarinya, kerinduannya kepada pulau tempat al
Jassasah itu muncul juga, dan ia mengarahkan perahunya ke sana.
Ibnu
Samirah menambatkan perahunya dan berjalan menuju gua tempat tinggalnya dulu.
Tetapi tiba-tiba muncul al Jassasah menghalangi jalannya, binatang raksasa
berbulu tebal, teman masa kecilnya itu tidak sendirian. Ada dua puluh orang
berwajah seperti matahari, tingginya seperti pepohonan dan masing-masing dari
mereka membawa semacam rantai besi bercampur baja yang mengkilat laksana emas.
Ibnu Samirah yang mempunyai pengetahuan luas tentang berbagai macam barang
tambang di bumi, sepertinya tidak mengenali jenis logam tersebut.
Bagian 5
Tiba-tiba saja ia merasakan suatu
ketakutan amat dalam sehingga tubuhnya menggigil. Padahal selama ini ia tidak
pernah merasa takut kepada apapun dan siapapun, termasuk ketika ia menghadapi
Nabi Musa AS, setelah fitnah yang dikobarkannya lewat patung emas anak sapi
yang sempat menjadi sesembahan Bani Israil. Ketakutan yang pertama kali
dirasakannya itu membuat ia lupa jati dirinya, lupa pada kecerdikannya,
kekuatannya, kesombongannya, ambisinya dan lupa pada semua kelebihannya yang
selama ini menjadi andalannya. Dengan terbata-bata ia berkata, “Apa ini? Siapa
mereka? Bagaimana mereka sampai di sini?” Al Jassasah berkata dengan tegas,
“Wahai orang yang paling bodoh, engkau telah menyia-nyiakan dua kesempatan
(untuk bertaubat, yakni ketika bertemu dengan Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS),
dan kini tidak tersisa lagi bagimu kecuali janji terakhir!!”.
Belum sempat Ibnu Samirah berkata atau
berbuat apapun, duapuluh orang berwajah cahaya itu menyerangnya dan ia langsung
pingsan karena takutnya. Ketika terbangun, ia telah berada di dalam gua, kaki
dan tangannya terbelenggu dengan rantai yang cukup panjang sehingga ia bisa
bergerak leluasa di dalam gua tersebut. Ketika ia mencoba mengerahkan kekuatan
dan ilmunya untuk membuka/mematahkan rantai tersebut, tampaknya sia-sia saja.
Padahal berbagai jenis logam di bumi dengan mudah ‘dikendalikan’ dengan ilmu
dan kekuatannya.
Al Jassasah yang juga berada di dalam gua
itu, setelah melihatnya putus asa dengan segala upayanya, berkata dengan tegas
kepadanya, “Wahai Dajjal masa depan, sekarang engkau berada di zaman penutup
para nabi, kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW. Ia telah lahir beberapa hari yang
lalu ketika engkau berada di tengah lautan. Engkau berada di penghujung akhir
zaman di bumi. Janji Allah telah datang masanya, engkau tidak akan terlepas dari
belenggumu itu kecuali jika kekasih Allah, Muhammad SAW telah wafat, berpulang
ke hadirat Yang Maha Tinggi.
Sedangkan tanda keluarmu sebagai orang
yang paling sombong di muka bumi adalah terputusnya pohon kurma Baisan (dari
berbuah), berkurangnya air danau Thabariyah, mengeringnya mata air Zhugar, dan
banyak terjadinya gempa bumi yang dahsyat!”
Bagian 6
Setelah
itu al Jassasah meninggalkannya sendiri. Sesekali ia datang ke dalam gua
membawa berbagai buah-buahan, tetapi tidak pernah berbicara atau menjawab
ketika diajak bicara, kecuali hanya pandangan keprihatinan. Beberapa puluh
tahun berselang, sekelompok orang dari Palestina terdampar di pulau itu karena
perahunya mengalami kerusakan. Mereka itu adalah Tamim ad Daari, seorang
pendeta Nashrani dan teman-temannya, yang sempat melakukan pembicaraan dengan
Ibnu Samirah atau calon Dajjal ini, dan akhirnya memeluk Islam dan menjadi salah
seorang sahabat Nabi SAW.
Dalam
versi Syech Muhammad Isa Dawud ini, setelah Rasulullah SAW wafat, belenggu Ibnu
Samirah atau Dajjal tersebut tiba-tiba melunak dan dengan mudah ia melepaskan
diri. Ia segera keluar dari pulau tersebut dan sepertinya ia tidak pernah ingin
kembali lagi ke pulau tersebut. Tak lupa al Jassasah mengantar kepergiannya
dengan doa laknat sebagaimana laknat yang ditimpakan Allah kepada Iblis. Ia
kemudian melanjutkan kebiasaannya melanglang buana ke seluruh penjuru dunia,
khususnya negeri-negeri yang belum pernah dikunjunginya.
Dalam
versi lainnya, yakni pengajian dari para ulama yang pernah saya dengar,
belenggu Dajjal sebenarnya belum terlepas sampai saat ini. Setiap saat ia
‘menggerogoti’nya agar belenggu itu terlepas, tetapi bersamaan dengan itu,
setiap kali adzan dikumandangkan, belenggu itu makin kuat dan makin menebal
lagi. Tetapi Dajjal tidak pernah beristirahat dan putus asa untuk berusaha
memutuskan belenggu tersebut. Jika suatu saat nanti di bumi tidak ada lagi yang
mengumandangkan adzan, tidak ada lagi yang menguatkan belenggu Dajjal dan ia
akan terlepas dan menyebarkan fitnah ke seluruh penjuru dunia. Namun untuk
kisah versi yang ini, saya belum menemukan rujukan kitabnya.
Meski
terjadi beberapa penafisran mengenai sejarah kemunculan Dajjal, namun hal yg
perlu digaris bawahi adalah, "Fitnah Dajjal adalah Fitnah Terbesar
Sepanjang Perjalanan Hidup Manusia".
Dalam
sebuah hadits shahih disebutkan,
مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ “Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946) An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Yang dimaksud di sini adalah tidak ada fitnah dan masalah yang lebih besar daripada fitnah Dajjal." Begitu dahsyatnya fitnah Dajjal ini, sehingga orang yang berpangkat kyai pun tidak akan sanggup menolaknya, apalagi orang biasa dimana mereka pasti mengikutinya
مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ “Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946) An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Yang dimaksud di sini adalah tidak ada fitnah dan masalah yang lebih besar daripada fitnah Dajjal." Begitu dahsyatnya fitnah Dajjal ini, sehingga orang yang berpangkat kyai pun tidak akan sanggup menolaknya, apalagi orang biasa dimana mereka pasti mengikutinya
Kecuali
para wali atau Nabi & Rosul jika diibaratkan masih hidup, yang akan mampu
menolak fitnah Dajjal. Sehingga Nabi Muhammad S.A.W, menyarankan setiap mukmin
untuk lari menghindari Dajjal sambil mengamalkan ayat Surat Kahfi dimana bisa
ke hutan, gunung dan yang lainnya untuk bersembunyi karena mayoritas orang di
dunia saat itu akan menjadi pengikut Dajjal.
Dari
Abu Darda’ R.A., Rasulullah SAW bersabda: "Jika sesiapa belajar dengan
'mata hati' dalam 10 ayat pertama Surah Al-Kahf, dia akan terlindung dari
fitnah Dajjal" (Hadis Riwayat Muslim).
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri R.A., Rasulullah SAW bersabda: "Sesiapa yang membaca
surah al-Kahf pada hari Jum'at maka dia diberi cahaya yang menerangi antara dua
Jum'at" (Hadis Riwayat Al Baihaqi, At-Tabrani, An-Nasai & Hakim)
Dari
Abu Darda' R.A., Nabi SAW bersabda,
"Barang siapa membaca 10 ayat terakhir dari surat Al-Kahf, maka ia terlindung dari fitnah Dajjal."(Hadis Riwayat Ahmad)
"Barang siapa membaca 10 ayat terakhir dari surat Al-Kahf, maka ia terlindung dari fitnah Dajjal."(Hadis Riwayat Ahmad)
Wallahu
A'lam Bishawab
0 komentar:
Posting Komentar