Pertemuan
antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal
itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain
yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun,
kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas di antara keduanya menjadi lebur
dan ikatan-ikatan syar’iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap
diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran,
dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita
lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan
dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.
Batas-batas hukum tersebut antara lain:
1.
Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya,
tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak
berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman,
‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(an-Nur:
30-31)
2.
Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
dituntunkan syara’, yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan.
Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh.
Allah berfirman:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya …” (an-Nur: 31)
Diriwayatkan
dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah
berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:
“… Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (al-Ahzab: 59)
Dengan
pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita
nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka
mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang
melihatnya untuk menghormatinya.
3.
Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a.
Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang
merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
b.
Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang.
Firman Allah:
“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (An-Nur: 31)
Hendaklah
mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang
dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan …” (al-Qashash: 25)
c.
Dalam gerak, jangan berjingkrak atau
berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:
“(Yaitu) wanita-wanita yang
menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada
kerusakan (kemaksiatan). HR Ahmad dan Muslim
Jangan
sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan
wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern
4.
Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan
warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di
dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5.
Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
disertai mahram. Banyak hadits shahih yang melarang hal ini seraya mengatakan,
‘Karena yang ketiga adalah setan.’
Jangan
berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini,
terdapat hadits yang berbunyi:
“Jangan kamu masuk ke tempat wanita.” Mereka
(sahabat) bertanya, “Bagaimana dengan ipar wanita.” Beliau menjawab, “Ipar
wanita itu membahayakan.” (HR Bukhari)
Maksudnya,
berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena
bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6.
Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri
kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya
mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.
0 komentar:
Posting Komentar